Penulis Norham Abdul Wahab
Kurator dan Prolog: Amien Wangsitalaja
Epilog: Ramon Damora
Sampul dan Atak: Kamil Dayasawa
Cetakan Pertama; Juni 2018
ISBN: 978-602-5819-02-5
Ukuran: 12,5 x 19 cm, xvi + 152 halaman
Harga: Rp30.000,00
Pesan via: +62811 1986 73 / +62811751800
Diterbitkan oleh:
TareSI Publisher
(Taretan Sedaya International)
Jalan Jaya 25, Kenanga IV Cengkareng, Jakarta Barat 11730
taresi.publisher@gmail.com
+62811 1986 73
PERSEMBAHAN
Wahai Allah Azza Wajalla, telah banyak usia yang kuhabiskan buat ini. Maka, jadikanlah ia sebagai catatan kebaikan buatku di kelak di kemudian hari. Juga hendaknya dimasukkan ke dalam catatan kebaikan buat Ayah H. Abdul Wahab, Mak Hj. Siti Hawa, Istriku Hj. Yenita binti Buchori, anak-anakku Luthfiya Nadhifa Hamta, M. Shidqi Rabbani, Annisa Zakirah Hamta dan Aisyah Zahrawani Hamta.
MUKADIMAH
Pasaran, Menimbulkan Kesan
Bismillah…
PREMAN SIMPANG. Seperti sebuah nama sembarang. Namun, entah dari mana asal mulanya, nama itulah yang terilham untuk menjadi judul buku kumpulan puisi ini. Padahal sebelumnya, beberapa nama lain masuk dalam nominasi, di antaranya “Wajah Pinggan di Nampan”, “Balik Kampung”, “Menunggu Tamu”, dan beberapa lainnya. Kesemua nominator merupakan judul puisi di dalam buku ini. “Dari sekian pilihan, “Preman Simpang” lebih menjemput pembaca.” Begitu tanggapan Buya Amien Wangsitalaja. Beliau kawan dialog yang setia ketika itu, hingga kini.
Ketika didiskusikan lagi dengan beberapa teman sembang lainnya, ada yang bilang, judul itu tak nyastra, tak ekslusif dan tak menyiratkan gurat kesusastraan kelas atas. Namun, pendapat yang lain, judul itu sememang terkesan pasaran, tapi keren, akrab, bersahaja dan keseharian. Cepat dapat menimbulkan kesan. Sebab, kata “preman simpang” sudah lama hidup di masyarakat, walau berkonotasi “ngeri” dan agak kurang menyenangkan. Ya, itulah hakikat musyawarah, selalu dekat dengan barokah Allah SWT. Sebuah proses tarik-ulur yang --jika salah-- dapat membuat babak-belur.
Dan buku “Preman Simpang” ini merupakan buku kumpulan puisi tunggal kami yang pertama, yang berhasil diwujudkan dengan susah payah. Baik dalam proses penulisan, maupun proses penerbitan. Sebab ternyata, menulis puisi tak mudah dan sederhana. Ia selalu membuat hati dan minda seperti menahan sakit yang sangat. Perih dan pedih dibuatnya. Pun ketika sedang berada dalam suasana yang sangat menyenangkan. Walau kemudian, keperihan dan kepedihan itu akan dapat segera menjadi obat pula bagi dirinya sendiri, setelah semua terluahkan, setelah semua tersuratkan.
Adalah Buya Amien Wangsitalaja, penyair sufi gondrong kriwil, yang jadi ikut tersusahkan, semenjak beliau (alhamdulillah) bersedia mengurasi lebih dari seratus judul puisi menjadi 52 judul saja. Dan itu, tentu pekerjaan yang juga menyakitkan. Namun agaknya, mekanisme “pagar” yang beliau buat dapat sedikit membantu meringankan pekerjaan, ketika hendak memilih dan menyapih puisi-puisi. Meski begitu, dalam sebuah kesempatan, Buya Amien tetap berucap, ”Aduh, sedihnya”, ketika dengan hati berat ia harus menyapih sebuah puisi. Karena puisi berjudul “Dinding Kosong” itu, misalnya, tak dapat dipaksa masuk ke dalam “pagar” yang dipancangnya. Begitulah…
Mungkin tersebab itulah, maka kemudian disepakati, bahwa urut tampil ke-52 puisi dalam buku ini disusun berdasarkan pola abjad saja. Runtut, dari A hingga Z. Inilah pilihan yang disimpul paling obyektif dan menggembirakan. Padahal, mulanya, ada pilihan lain, yaitu berdasar waktu penulisan dan/atau dugaan kualitas karya penulisan, menurut pandang yang ngurasi. Alhamdulillah…
Dan adalah juga Ramon Damora, penyair pendekar sastra tak berduga. Alhamdulillah, alih-alih pendekar geliga ini serta-merta menyata sedia untuk membuat coret-moret. Padahal, berjibun kesibukan keseharian hampir menghisap habis napasnya. Dan ternyata, hasilnya, tidak hanya tulisan humanistis yang membuat mata gerimis, namun juga sebuah puisi yang membuat iri. Persembahan yang menyesakkan dada kami.
Terimakasih kepada semua pihak yang memberikan dukungan dan membesarkan hati kami: kepada Tuan Lukman Edy, Abah Riza Pahlefi, Tuan Mafirion Syamsuddin, Haji Mawardi, Tuan Temberang Husnizar Hood, Adinda Alnofrizal Alpekani, Buya Amien Wangsitalaja, pendekar Ramon Damora, dan semua yang turut memberikan doa. Terutama, tabik dan hormat kepada Ustadz Sofyan RH Zaid dan Taresi Publisher Jakarta, yang bersedia menerbitkan buku ini.
Harapan kami, semoga buku “Preman Simpang” ini bermanfaat bagi kesusastraan Indonesia, bernilai ibadah dan mendatangkan keberkahan ridha dari Allah SWT.
Alhamdulillah…
Mboro, April 2018
NORHAM ABDUL WAHAB
Endorsement
"KUMPULAN puisi “Preman Simpang” karya penyair Norham Abdul Wahab ini adalah kumpulan suara-suara pengembaraan bathin Norham, dalam perjalanannya menanggalkan jubah keduniaan. Puisi-puisi yang khusuk dan kontemplatif. Ini bahagian dari perjalanannya menyepi dan menyerap makna kehidupan yang fana ini. Tetapi karena pengaruh latar belakang kepenyairannya yang pernah menjadi wartawan, politikus dan juga seorang pengusaha, maka tetap ada puisi-puisi yang bernuansa sosial dan politik. Puisi-puisi kritis tentang kehidupan sekitarnya, yang terasa bahang politik dan perlawanan.
“Preman Simpang” ini adalah perlambang dari perlawanan kulturalnya, sekaligus juga kesadaran atas ke-dhaif-an di hadapan Sang Khaliq. Seperti seorang yang sedang berada di persimpangan jalan.
Puisi-puisi Norham ini --dengan cerdas-- juga banyak menggunakan diksi-diksi bahasa Melayu, sehingga terasa hentakan tari, dendang dan juga raung kemelayuannya. Dia berhasil mengemas diksi yang terasa sangat ritmis, puitis dan beberapa metaphor yang “atletis” alias “berotot”, seperti ungkapan “lokap waktu”. Tegap, kukuh, tapi melodius. Tak salahlah kalau budayawan (alm) Hasan Junus (HJ) menyatakan, bahwa bahasa Melayu itu sama indahnya dengan bahasa Spanyol. Syabas, encik Norham!"
RIDA K LIAMSI
(Penyair, penulis novel-novel sejarah Melayu)
"Syi’ir, kata Bahasa Arab, darimana kata syair berasal, berarti “mengetahui” dan “merasakan”. Saya kira itulah yang diinginkan oleh Bang Norham Abdul Wahab dengan puisi-puisinya di buku ini: beliau ingin pembacanya mengetahui dan merasakan banyak hal yang ia gelisahkan, yakini dan ia amanatkan."
HASAN ASPAHANI
(Penyair, sastrawan, dan penulis buku Chairil, Sebuah Biografi)
"Di masa Jahiliah, syair atau puisi dijadikan alat untuk merayu atau menaikkan pamor seorang wanita atau penguasa, dengan cara memujinya. Kemudian, pada masa Islam, syair dipakai untuk membangkitkan semangat --misalnya, dalam perang-- serta ajakan kebaikan. Fungsi syair pada kedua masa tersebut, masih bisa kita temukan pada masa sekarang, dengan bentuk yang beraneka-ragam. Namun, dalam buku Preman Simpang ini, Norham Abdul Wahab (NhAW) lebih memilih fungsi yang terakhhir, syair menjadi media untuk berdakwah. Tentu saja dengan diksi-diksi Melayu yang khas dan segar, tanpa kehilangan sisi puitisnya. Apa yang dilakukan NhAW, juga pernah dilakukan oleh Imam Syai’e dan ulama klasik lainnya, dengan gaya dan daya ucap yang berbeda. Membaca buku ini, saya seperti ikut merasakan kebahagiaan penyairnya, ketika sanggup memadukan antara puisi dan dakwah yang dia cintai."
SOFYAN RH ZAID
(Penyair, sastrawan, editor dan penulis buku puisi Pagar Kenabian)
TENTANG NORHAM ABDUL WAHAB
Dulu dikenal juga dengan nama Norham Wahab. Sebuah nama yang tak dapat dipisahkan dari sejarah sastra kontemporer Riau. Ia, setelah menamatkan bangku kuliah di Ilmu Sastra FIB UGM Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1990-an lalu, balik kandang ke Pekanbaru, dan langsung menjadi sumbu penyala gairah kesusastraan kala itu.
Lahir di Bengkalis, Riau, dari pasangan Haji Abdul Wahab dan Hajjah Siti Hawa, Norham dulu dikenal sebagai penanggungjawab halaman budaya “SAGANG”, yang disegani saat masih menjadi suplemen Harian “Riau Pos”, edisi Ahad. Dari tangan amatannya, lahir bejibun cerpenis dan penyair Riau, yang hari ini masih bertapak dengan kokoh. Sebutlah di antaranya Husnizar Hood, Ramon Damora, Syaukani Alkarim, Hang Kafawi, Murparsaulian, dan beberapa nama lainnya.
Beberapa karya cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Pagi “Riau Pos”, Harian Pagi “Tanjungpinang Pos”. Karya cerpennya juga masuk dalam buku “Anugerah Sagang 2000, Kumpulan Cerita Pendek dan Puisi” (Sagang, 2000) dan buku “100 Tahun Cerpen Riau” (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2014). Buku kumpulan cerpen tunggal pertamanya adalah “Ulat Perempuan Musa Rupat”, diterbitkan Yayasan Sagang intermedia, Pekanbaru (Februari, 2018).
Sedang karya-karya puisinya juga dimuat dalam antologi bersama, di antaranya “The First Drop of Rain” (Antologi Puisi Banjar’s Rainy Day Literary Festival (2017); “Soekarno dan Wong Cilik dalam Puisi (2017); “Senyuman Lembah Ijen; Antologi Puisi Indonesia” (2018); “199 Penyair dari Negeri Poci 8, Negeri Bahari” (2018); dan beberapa lainnya. Sedang buku puisi “Preman Simpang” ini merupakan buku kumpulan puisi tunggalnya yang pertama. Selain itu, Norham juga dikenal sebagai seorang aktor dan sutradara, dalam berbagai pementasan teater.
Menghilang cukup lama, mantan jurnalis senior ini kini aktif di jalan dakwah, sambil menjalankan sejumlah perniagaan. Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktu di sebuah desa kecil tidak jauh dari Gunung Lawu: Desa TeMboro, Kec. Karas, Kab. Magetan, Jawa Timur, bersama istri Yenita binti Buchari dan ketiga anaknya, Luthfiya Nadhifa Hamta, Muhammad Shidqi Rabbani, dan Annisa Zakirah Hamta. Ketika ditanya alasan hijrahnya, ia menjawab, “Kampung TeMboro adalah “Madinah Indonesia”. Sebuah kampung idaman yang indah dan nyaman untuk beribadah dan berkarya.” Kontak: +62811751800 / norhamabdulwahab@gmail.com
Bagikan ya:
comment 0 comments
more_vert